*KEGALAUAN BUNYI TELEPON
Hari mulai beranjak siang. Jarum jam
menunjukkan angka sepuluh. Aku masih merasa galau merenungkan nasib hidupku
ditengah pilihan yang sulit. “Den, selamat yah. Kamu diterima menjadi PNS.”
Kata-kata itu belum hilang dalam ingatanku, setelah sekretaris redaksi surat
kabar tempat kerja ku menelpon kala aku menikmati hari libur kerja. Menurut
Leni, sekretaris redaksi itu nama ku tercantum dalam iklan pengumuman hasil
seleksi CPNS di kota Cirebon yang terpasang besar di surat kabar tempat aku
bekerja pada 25 Januari 2005.
Ketakutanku akhirnya terjadi.
Ketakutan yang sudah menghantui pikiran ini sejak mendaftar lowongan guru PNS
di kota udang tersebut. “Duh gimana yah kalau nanti aku lulus tes. Padahal aku
sudah betah dan nyaman di tempat kerjaku sekarang,” pikirku membatin saat menemani
istri untuk mendaftar formasi guru agama di kota yang sama. Aku mendaftar
formasi guru sosiologi, ilmu sesuai jurusan yang aku ambil saat kuliah S-1 di
kampus Fisip Unsoed Purwokerto.
Selama berhari-hari aku abaikan
jadwal pembekasan registrasi CPNS. Hari-hari ku habiskan untuk mencari nasehat,
jawaban dan solusi atas kegalauanku: pilih PNS atau tetap menjadi wartawan.
Teman kerja, teman main, teman kuliah, hingga konsultan perencanaan keuangan
Safir Sanduk dimintai pendapatnya. Bahkan beberapa pejabat daerah pun yang aku
kenal selama menjadi wartawan tempat dicurhati dilema masalah ku ini.
Belum ada jawaban yang memuaskan yang
aku harapkan, termasuk saran dari konsultan keuangan Safir Sanduk. Keberadaan
Tuhan dan pendapat keluarga pun sempat aku abaikan. “Tuhan itu jalan terakhir,
kalau akal ini masih bisa mencari solusi,” ujar ku kepada beberapa kawan yang
sering menyarankan untuk melakukan sholat istikharah. Keluarga menyerahkan
pilihan masa depan pekerjaan itu terserah kepada keputusan ku.
*BERMULA DARI KEBIASAAN ISENG
Kebimbangan menentukan jalan hidup ku
bermula dari kebiasaan iseng ku yang sudah ada sejak diduduk di bangku SMA.
Ketika pihak sekolah mengumumkan penerimaan calon mahasiswa baru dari kampus
Unsoed Purwokerto. Pada awalnya aku tidak tertarik dengan informasi itu, karena
sejak kecil aku tidak punya mimpi untuk kuliah apalagi menjadi guru. Alasannya
aku adalah anak kelima dari delapan saudara. Saat itu ayah ku mendekati masa
pensiun sebagai karyawan Pabrik Gula Karangsuwung. Dengan jumlah anak yang
banyak, dengan gaji pensiun yang kecil rasanya tidak mungkin untuk kuliah.
Empat kakak ku setelah lulus SMA memilih untuk bekerja di pabrik.
Semasa di SMA aku tetap belajar
umumnya anak-anak kampung. Pagi sekolah, siang tidur, sore bermain, malam
nonton televisi. Jam belajar hanya dilakukan pada saat ada tugas pekerjaan
rumah atau jika besok ada ulangan. Itu pun belajar secara diam-diam untuk menghindari
omelan orangtua karena melihat anaknya tidak belajar. Kesadaran belajar mulai
tumbuh saat aku naik ke kelas tiga. Ada kecemasan setelah lulus SMA hendak
bekerja kemana. Cita-cita sejak kecil ingin menjadi TNI AD dikubur dalam-dalam
melihat gigi ku sudah banyak berlubang. Membayangkan menjadi tenaga kerja di
luar negeri pun pupus di jalan. Keinginan kuliah perlahan mulai dating seiring
kesibukan ku di organisasi siswa di kelas tiga.
“Den itu ada pendaftaran kuliah di
Unsoed jalur PMDK, kamu ga daftar,” ujar Edi Jaudi, guru ekonomi ku di SMA
Muhammadiyah Lemahabang Kab. Cirebon saat aku masuk ke ruang kantor guru.
“Emang pendaftaran gimana Pak,” Tanya
ku balik kebingungan sekaligus kaget ditawari kuliah oleh guru. Padahal selama
ini aku bukan termasuk siswa yang dicalonkan untuk mendaftar oleh pihak
sekolah.
Menurut guru ku tersebut, pendaftaran
jalur PMDK tersebut adalah bagi siswa yang punya prestasi baik bidang akademik
maupun non akademik.
“Tapi kamu ada nilai lima gak saat
kelas satu,” sambung guru yang memiliki jenggot tipis ini tersenyum. Aku pun
berkerut dahi sambil mengingat kembali deretan nilai pelajaran saat duduk
dikelas satu SMA. Pak Edi mulai melihat keraguan ku karena tahu pada saat kelas
satu aku pernah diberi nilai lima untuk pelajaran matematika. Menurut guru ku
syarat nilai untuk mendaftar kuliah jalur PMDK tidak memiliki nilai mati saat
kelas satu. Namun guru yang satu ini memberikan motivasi kepada ku untuk tetap
mencoba daftar.
“Tapi lebih baik kamu mencoba daftar saja
daripada tidak sama sekali. Kalau orang daftar, jawabannya ada dua : diterima
atau ditolak. Tapi kalau orang gak daftar jawabannya pasti satu, ya tidak diterima,” ungkap Pak Edi serius
memberikan nasehat kepada ku.
Berbekal nasehat itu aku mulai
tergerak menyiapkan segala persyaratan pendaftaran kuliah di jurusan Sosiologi.
Satu demi satu persyaratan itu aku kumpulkan tanpa sepengetahuan orangtua. Aku
sadar orangtua ku pasti tidak akan setuju jika anak kelimanya ini memilih
kuliah. Uang pendaftaran kuliah diam-diam aku minta dari kakak pertama ku di
Bandung. Hingga akhirnya saat pengumuman hasil seleksi orangtua ku tidak bisa
menolak untuk tidak kuliah.
Selama kuliah aku habiskan waktu ku
untuk belajar, belajar dan belajar. Belajar di bangku ruang kuliah, belajar di
perpustakaan, melalui berbagai kegiatan ilmiah dan pelatihan, belajar mengikuti
berbagai organisasi di dalam dan luar kampus. Termasuk belajar berdagang di
lingkungan kampus. Aku teringat pendapat seorang pakar pendidikan, semakin
seseorang banyak menguasai ilmu dan keterampilan, maka ia semakin siap
menghadapi hidup ini. Sebagai aktivis kampus, aku terpaksa harus memiliki buku
agenda kerja untuk menyusun rencana kegiatan. Di dalam buku diary kerja
tersebut beberapa mimpi masa depan ku sesekali aku tulis.
Boleh dibilang aku seperti kesurupan
mengikuti berbagai kegiatan ilmiah. Mulai kegiatan pelatihan akademik seperti
pelatihan metodologi penelitian, pelatihan internet, workshop pembangunan desa,
kursus program computer Microsoft office hingga pelatihan diluar akademik
antara lain pelatihan zakat, kewirausahaan bisnis, manajemen mini market,
pelatihan fotografer, kewartawanan. Belum lagi beragam organisasi yang aku
ikuti, baik organisasi intra kampus seperti Unit Kerohanian Islam, Unit
Penelitian Mahasiswa, Senat Mahasiswa hingga organisasi mahasiswa ekstra
kampus. Semua itu aku lakukan untuk mengejar ketertinggalan ilmu yang belum
sempat aku serap pada saat sekolah di SMA, di SMP, lebih-lebih pada saat
belajar di SD. Prestasi belajar selama di SD boleh dibilang hampir paling
buncit ranking hasil belajar ku.
Pada tanggal 1 April 2000 aku resmi
di wisuda sebagai sarjana ilmu social dengan gelar akademik S.Sos. Di hari yang
bersejarah itu aku merasakan tidak ada yang istimewa selain berganti pakaian
toga dan mendengarkan pidato pejabat kampus serta pengalungan medali wisuda.
Aku bersama keluarga yang datang terlambat namun pulang lebih awal saat
menghadiri wisuda. Kecemasan pikiran ku saat itu satu : mau kerja apa setelah
wisuda nanti.
*BELAJAR MENJADI GURU
Setelah merasa gagal mencoba
keberuntungan mencari pekerjaan di Purwokerto, aku memilih pulang kampung di
Sindanglaut Kabupaten Cirebon. Semula aku berusaha bisa bekerja di kota mendoan
tersebut. Selain sudah betah dengan kultur masyarakat dan alam disana, aku juga
mulai menyukai seorang gadis Purwokerto. Ia adalah mahasiswa kampus Stain
Purwokerto, yang sering berjumpa saat kegiatan organisasi mahasiswa Islam
ekstra kampus. Berbagai lowongan kerja di sana aku masuki. Mulai melamar
bekerja sebagai karyawan supermarket hingga karyawan rendahan sebuah apotek
disana. Keberuntungan melamar menjadi guru di sekolah disana pun kandas
dilakukan.
Berbekal ijazah sarjana sosiologi aku
diberikan kesempatan untuk mengajar di sekolah almamaterku. Sekalipun aku bukan
sarjana pendidikan, namun aku merasa yakin bisa menjalankan tugas sebagai guru
sosiologi dengan baik. Selain nilai ijazah ku sangat memuaskan, kemampuan
bicara di depan orang banyak sudah menjadi kebiasaan ku pada masa organisasi
kuliah dulu. Apalagi aku mengajar berada di lingkungan yang sudah tidak asing,
bersama guru-guru aku pada saat menjadi siswa sehingga tidak sulit menjalani
proses adaptasi.
Namun menjalani proses awal sebagai
guru aku sedikit tersinggung dengan ucapan kepala sekolah setempat, Bapak Drs
Abdul Halim. “Menjadi guru tidak cukup
dengan bermodal nilai IPK (Indeks
Prestasi Kumulatif) yang besar. Tetapi yang lebih penting bagaimana guru
itu mampu mengemas ilmu yang diajarkan sehingga mudah dipahami dan dipraktekkan
oleh anak didik,” tuturnya kepada ku saat pertama menjalani program supervisi
guru di kelas. Pikir aku ada yang salah dan cenderung melecehkan ucapan kepala
sekolah tersebut. Menurut ku tidak ada yang salah apa yang aku sampaikan selama
menjadi guru sosiologi di sekolah yang ia pimpinnya. Apalagi selama aku menjadi
siswanya Abdul Halim dan juga guru-guru lainnya melakukan pengajaran yang sama.
Satu bulan setelah menjadi guru aku
sering dapat saran dari kawan-kawan guru disana. Saran mereka jika aku ingin
menjadi guru hendaknya harus memiliki SIM, surat ijin mengajar---denngan
mengantongi ijazah akta IV. Lagi-lagi aku iseng mencoba untuk kuliah akta IV
yang hanya memakan waktu satu tahun di Universitas Terbuka (UT). Pilihan kampus
ini karena kegiatan belajarnya tidak mengganggu jam mengajar di sekolah hingga
akhirnya aku dapat ijazah akta IV walaupun dengan susah payah.
Sehari dua hari, minggu berganti
bulan, menjalani profesi guru mulai terasa tidak nyaman. Menghadapi siswa
swasta yang rata-rata memiliki keterbatasan. Keterbatasan motivasi belajar,
keterbatasan IQ, spiritual dan keterbatasan finansial namun kelebihan energy
fisik berpotensi pada tindak kekerasan, baik verbal maupun non verbal. Disinilah
aku merasa perlu metode jitu dalam menyampaikan materi mata pelajaran. Perlu cara khusus menghadapi kenakalan siswa.
Harus tahu cara bagaimana membakar semangat belajar siswa malas agar tetap jos. Dibutuhkan kesabaran ekstra dalam
menyelesaikan berbagai kasus. Harus pandai bersyukur dengan gaji yang
kecil. Dalam sebulan aku menerima gaji
mengajar di dua sekolah, SMP dan SMA Muhammadiyah Lemahabang sekitar Rp.
150.000 (seratus lima puluh ribu)
Gaji yang kecil tersebut terpaksa
habis, atau kehabisan hanya untuk uang transport pulang pergi dari rumah ke
sekolah. Malahan seringkali pinjam ke orangtua hanya untuk menyambung biaya
ongkos angkutan umum. Belum lagi aku harus bolak balik ke Purwokerto menengok
pujaan hati sehingga gaji segitu tidak membekas kecuali hutang. Sementara makan
dan minum aku masih numpang ke orangtua.
Dengan keterbatasan yang ada aku
terus mencoba bertahan menjalani profesi sebagai guru swasta. Sekalipun harus
ekstra sabar menghadapi siswa yang nakal-nakal, juga bodoh dan miskin. Bodoh
karena setiap ulangan yang diberikan selalu nilainya kecil-kecil. Siswa yang
hobinya tawuran, suka nongkrong di warung dan di jalan daripada harus belajar
di kelas. Kalaupun mereka masuk kelas, tetapi memilih ngobrol atau malah tidur.
Omongan jorok, kotor dan kekerasan sudah menjadi makanan sehari-hari bagi guru
swasta dimana tempat aku kerja. Pernah juga terjadi ada kawan guru yang
dikeroyok oleh keluarga siswa gara-gara guru tersebut menghukum siswa karena
melanggar aturan sekolah. Anehnya pihak sekolah tidak mampu melindungi guru
tersebut hingga babak belur.
*ALIH PROFESI WARTAWAN
Hari sudah makin sore. Namun aku
masih asik berada di lapak Koran di pasar Lemahabang. Kegiatan itu aku selalu
lakukan saat tidak ada acara usai mengajar di sekolah. Selain mengikuti
perkembangan berita, aku juga mencari beragam lowongan kerjaan yang baik untuk
masa depan aku kelak. Hingga beberapa bulan menjadi guru, aku masih belum
menikmati profesi mulia tersebut. Banyak alasan yang menjadi beban pikiran dan
moral aku jika aku tetap menjadi guru. Ijazah sarjana ku yang bukan pendidikan,
salah satu alasan mengapa aku mencari pekerjaan yang sesuai dengan
latarbelakang pendidikan ku. “Sungguh dzolim kalau aku tetap jadi guru karena
aku bukan sarjana pendidikan,” gumamku saat itu.
Masalah siswa merupakan hal yang ikut
mendorong larinya aku dari dunia guru. Masalah tawuran, kekerasan dan pergaulan
siswa yang kian tak terkontrol. Masalah daya serap belajar anak swasta yang
begitu lambat sehingga akan semakin banyak siswa yang tidak lulus ujian
nasional kelak. Alasan gaji kecil turut memantapkan hati ini berpindah
pekerjaan. “Aku ini sarjana loh, masa Cuma dapat gaji segini. Jangankan untuk
makan dan minum sebulan. Untuk ongkos ke sekolah saja masih kurang. Aku harus
bekerja di tempat lain dengan gaji lebih baik. Aku kan punya potensi besar
untuk berkembang,” ujar batinku bernada protes.
Jelang sore tiba aku masih asyik
nongkrok di lapak Koran. Mendadak perhatian mata ku tertarik dengan iklan
lowongan kerja di sebuah surat kabar lokal. Perusahaan Surat kabar Radar
Cirebon (group Jawa Pos) membutuhkan beberapa posisi pekerjaan, satu diantaranya
adalah sebagai reporter. Membaca iklan tersebut, sifat dasar aku yang suka
iseng muncul. Selang beberapa hari setelah persyaratan administrasi yang
dibutuhkan aku putuskan mengirim lamaran tersebut melalui Pos. Keputusan ini
dilandasi rasa percaya diri karena dulu aku pernah mengikuti pelatihan
jurnalistik di kampus. Aku juga kadang menulis kolom artikel surat kabar kala
itu.
Pengalaman ku berorganisasi menambah kekuatan mental ku berhadapan banyak
orang sekaligus beragam masalahnya. Belum lagi dukungan beberapa kawan guru
yang menilai jika aku punya bakat dalam dunia jurnalistik. Rasa ragu masih
tersisa. Informasi mereka yang pernah bekerja di Koran local konon gajinya
kecil. Namun rasa was-was menjadi guru menguatkan tekad ku untuk pindah profesi
sekalipun menjadi guru baru enam bulan. Paling tidak aku perlu membuktikan
kepada pihak manajemen Radar Cirebon jika aku mampu dan bagus kinerjanya,
sehingga gaji pun akan menyesuaikan.
“Kenapa harus keluar menjadi guru
mas, kan tanggung belum satu tahun mengajar. Apalagi mas deny ini bapak lihat
punya bakat menjadi guru,” ungkap Herman Abdullah, kepala sekolah dimana aku
mengajar. Memang saat aku mengirimkan lamaran reporter, pihak sekolah tidak
tahu. Menanggapi hal tersebut aku hanya mengatakan, bahwa kesempatan itu datang
tidak dua kali sehingga pihak sekolah pun tidak bisa menolak keinginan aku.
Menjalani profesi baru sebagai
wartawan memang gampang-gampang susah. Apalagi dua dunia yang berbeda antara
dunia pendidikan sekolah dengan dunia wartawan. Namun sifat dasar aku yang
tidak pernah berhenti belajar maka keilmuan dan keahlian kemampuan jurnalistik
ku perlahan kian matang. Banyak hal aku belajar selama menjadi wartawan.
Belajar tentang dunia real kehidupan. Mengenal banyak karakter orang, mempelajari
beragam masalah yang muncul, belajar macam-macam ilmu, pengetahuan dan
keterampilan. Karena selama di wartawan aku sering dirotasi ke bagian lain.
Mulai wartawan pedesaan, wartawan pemda, wartawan kriminal, olahraga, ekonomi
dan bisnis. Sekalipun kesibukan ku padat saat menjadi jurnalis, berangkat pagi
pulang malam bahkan kadang jarang libur, serta menghadapi berbagai masalah dan
ancaman, namun lima tahun menjadi wartawan aku begitu menikmatinya.
*JALANI TAKDIR TUHAN
Mentari pagi dipenghujung tahun 2004,
Koran tempat ku bekerja memuat lowongan CPNS Pemda Kota Cirebon. Sederet
formasi pegawai diperlukan untuk mengisi kekosongan posisi. Satu diantaranya
dibutuhkan tenaga guru Pendidikan Agama Islam dan guru IPS tingkat SMP. Istriku
merasa tertarik untuk mencoba kesempatan langka tersebut, sekalipun mengikuti
seleksi CPNS bukan hal yang pertama. Nah kali ini istriku yang lulusan IAIN
Purwokerto jurusan PAI bersemangat untuk mencoba lagi, dengan harapan aku juga
bisa ikut seleksi tersebut. Pada pembukaan seleksi tahun itu pemda kota untuk
pertama kalinya mencari guru IPS dengan latar belakang jurusan sosiologi.
Terdengarnya terasa aneh memang, karena jurusan sosiologi tidak ada bergelar
sarjana pendidikan, sehingga harus mengantongi aktva IV mengajar. Apalagi kali
ini untuk formasi guru IPS SMP, karena biasanya mata pelajaran sosiologi itu
bisa dijumpai di tingkat SMA.
Waktu terus bergerak. Detik-detik
pelaksanaan seleksi CPNS pun kian dekat. Ada kegalauan yang terus menghantui
pikiran ku. Aku putuskan untuk mendaftar seleksi CPNS tersebut. Harapannya
sambil belajar dan ujian bersama dengan istri. Siapa tahu seleksi kali ini
memberikan keberuntungan buat istriku. Aku sendiri mencoba hanya untuk menemani
istri. Perasaan batin ku terus bergejolak, “Duh gimana kalau nanti aku lulus
seleksi yah. Padahal aku sudah mendapat pekerjaan yang layak dan bagus untuk
masa depan ku. Punya dana tabungan pensiun, dapat asuransi kesehatan, gaji yang
bagus, belum lagi tunjangan lain yang besar seperti sharing profit perusahaan,”
pikir ku.
Konflik batin ku kian memuncak saat
aku dan istriku berpisah tempat ujian pada Desember 2004 itu. Lokasi tes ku
bertempat di STM Negeri Kota Cirebon, sementara istri tidak jauh berada di SMA
Negeri 7 Kota Cirebon. Niatan yang tidak lurus dan serius mengikuti ujian
membuat aku tanpa beban mengerjakan soal-soal ujian. Saat ujian sempat ijin
keluar untuk mencari sarapan pagi yang belum sempat aku lakukan seperti
biasanya. Bahkan soal-soal bahasa Inggris tidak aku kerjakan karena waktunya
tidak memungkinkan disebabkan kinerja pengawas ujian yang tidak cermat dalam
membagi waktu ujian.
Selesai ujian selesai juga masalah
batinku. Aku kembali ke aktifitas sebagai wartawan Koran local. Hingga aku pada
awal tahun 2005 di telepon oleh sekretaris redaksi ku Mba Leni. Gadis asal Jawa
Tengah ini memberi tahu jika nama aku ada di deretan peserta yang lulus seleksi
CPNS di Kota Cirebon. Panitia seleksi mengumumkan secara terbuka dan tertulis
di halaman iklan Koran tempat ku bekerja.
Mendengar kabar itu tidak membuat aku kegirangan bahagia, malah menjadi
beban batin ku yang selama ini aku takutkan sehingga aku hampir tertinggal
melakukan registrasi CPNS kepada panitia.
Pada tanggal 1 Maret 2005 aku mulai
menjadi guru CPNS mata pelajaran IPS di SMP Negeri 4 Kota Cirebon. Sebuah
sekolah yang tidak tahu dimana lokasinya. Kedengarannya memang lucu dan aneh
tetapi itulah kenyataannya. Sekolah dipusat kota namun aku tidak mengetahuinya,
membuat reputasiku sebagai wartawan yang sering hunting ditertawakan oleh pejabat
Dinas Pendidikan saat pembagian SK Tugas Mengajar. Ternyata sekolah tersebut
terletak di Jalan Pemuda No. 16, sekitar 1 kilometer dari kantor Dinas
Pendidikan Kota Cirebon.
Hari-hari pertama ku menjalani
sebagai guru tidak ada yang istimewa dan hebat. Aku datang ke sekolah dengan
pakaian rapih berkemeja panjang menunggu di ruang guru. Banyak guru melihat aku
agak berbeda. Mereka berfikir aku ini adalah sales penjual barang. Maklumlah
ruang guru belakangan aku tahu sering sekali ada orang silih berganti menjajakan
barang dagangannya. Semester pertama ku mengajar aku baru mengajar Bahasa
Cirebon, sebuah bahasa ibu tapi sulit aku kuasai karena berbeda dengan bahasa
sehari-hari. Mengapa bukan IPS? Alasan wakasek kurikulum karena jadwal mengajar
sudah berjalan awal Januari, sementara aku mulai masuk bertugas per 1 Maret
2005.
Jejak pengalaman ku yang sering ikut
organisasi dan berbagai kegiatan serta pelatihan membuat aku diberikan tugas
tambahan sebagai guru Pembina jurnalistik sekolah. Pada periode berikutnya
sering diminta menjadi panitia dalam berbagai kegiatan sekolah. Kemampuan ku
dalam bidang fotografi, menulis, internet, audio dan video membawa aku
dipercaya sebagai wakil kepala sekolah bidang Humas. Aku merasakan sebagai guru
memang haru memiliki kemampuan yang multi talenta, serba bisa.
Menjalani profesi guru pada
bulan-bulan awal bertugas belum membuat aku happy. Jiwa dan raga ku masih
terpisah, antara kantor lama ku dengan sekolah. Terlebih pada masa awal aku
masih merangkap profesi, jika pagi menjadi guru kalau malam bekerja di Koran
Radar Cirebon. Mudahnya pembagian waktu bekerja aku karena di Koran bertugas
melakukan pengeditan naskah berita wartawan sebelum di layout dan naik cetak.
Sayang situasi tersebut tidak berlangsung lama. Pihak pimpinan redaksi akhirnya
meminta agar aku bisa memilih, antara Koran dan guru. Bos Yanto S Utomo
berharap aku bisa melanjutkan karirnya menjadi guru karena lebih menjamin masa
depan.
“Jika kamu tidak ambil tuh PNS, maka kamu akan melukai perasaan banyak
orang, karena mereka berharap lulus tes tapi kamu sudah lulus malah tidak
diambil,” pesan bos Koran kepada aku yang masih galau.
Ditengah kegalauan tersebut aku tetap
mencoba mencintai pekerjaan ku yang baru, sebagai guru IPS SMP. Baru
suasananya, baru jam kerjanya, baru menghadapi suasana kerjanya, baru sistem
gaji dan karirnya dan baru baru segalanya. Sebagai mantan wartawan, idealisme
ku masih membara. Berbagai realita sekolah selalu aku kritisi, termasuk
kebijakan kepala sekolah yang tidak sejalan dengan peraturan yang ada. Forum
Tanya jawab yang dibuka saat rapat tidak pernah aku lewatkan untuk bicara.
Aspirasi guru-guru aku galang dalam kekuatan satu untuk melawan kedzoliman
kepala sekolah. Sikap kritis ini membuat
aku diisolasi oleh kepala sekolah. Tidak pernah dikasih jabatan wali kelas atau
pun kepanitiaan, selain hanya mengajar, mengajar dan mengajar.
Berbagai arsip dokumen pergerakan
masa kuliah aku mulai cari sebagai bahan referensi melakukan gerakan guru
melawan kepala sekolah. Tumpukan dokumen di berbagai tempat dicoba terus
dibongkar. Aku menemukan buku diary kegiatan ku semasa aktif di organisasi
kuliah dulu. Tatapan mata ku terpana, denyut jantungku bergerak lebih cepat,
tubuh ku mulai bergetar dan tanpa terasa mata ku mulai keluar air.
“Subhanullah…. Ternyata Allah mendengar doa ku dan mengabulkannya,” tutur ku
lirih sambil menahan air mata jatuh ke pipi.
*) True Story ini pernah dilombakan tentang Lomba Menulis Kisah Nyata tentang Guru yang diselenggarakan oleh Az-Zahra 25 Nopember 2015 (http://www.az-zahra-online.com/2015/10/lomba-menulis-kisah-nyata-tentang-guru.html)