Mei 01, 2009

BENARKAH FAHAM MUTAZILAH MERACUNI UMAT ISLAM?

Aliran Mutazilah dianggap memiliki faham yang sesat dan menyesatkan umat Islam hingga sekarang. Mengapa? Ini terkait dengan pemikiran yang berlebihan dalam “mendewakan” akal dalam memahami nash-nash Islam, baik Al Quran maupun Hadist, sehingga masuk dalam firqah aqlaniyyun . Firqah ini sering menolak nash-nash yang bertentangan, menurut menentangnya, dengan akal sehat meskipun shahih. Seperti penolakan Al Nazhzham (salah satu tokoh mu’tazilah) terhadap hadits terbelahnya bulan, dan menuduh Ibn Mas’ud radhiyallahu anhu yang meriwayatkannya sebagai seorang pembohong besar. Tokoh lainnya, Ibrahim Al Jahidz, mencemooh para muhaditsin sebagai kelompok orang yang tidak mempergunakan pertimbangan akal . Mu’tazilah juga dianggap sebagai pioneer ajaran sistematik kaum mutakallimun .

Istilah Mutazilah sendiri berasal dari kata I’tizaal yang berarti meninggalkan, menjauh, dan memisahkan diri . Nama mu’tazilah sesuai pendapat yang kuat, adalah nama yang diberikan oleh Hasan Al Bashri. Asy Syahrastani menyebutnya dengan kelompok Ahl al-Adl wa at-Tauhid, Qadariyyah atau ‘Adliyyah dikarenakan pendapat mereka bahwa manusia memiliki kekuasaan mutlak untuk berbuat sesuatu di luar kekuasaan Allah Tabaraka wa Ta’ala .

Pemikiran Mutazilah tentang akal dan wahyu mengundang kontroversi di kalangan umat Islam. Akal yanga ada pada manusia dan wahyu dari Tuhan merupakan alat untuk mendapatkan pengetahuan tentang kedua masalah tersebut. Akal, dengan daya yang ada pada manusia berusaha untuk sampai kepada Tuhan, dan dengan rahmat dan kasih sayang Tuhan, wahyu diturunkan melalui para Rasul untuk menolong manusia dari kelemahan dan kekurangannya. Konsepsi ini dapat digambarkan sebagi Tuhan Maha Tinggi di puncak alam wujud, dan manusia yang lemah berada di bawah.

Konsepsi ini merupakan sistem teologi yang dapat diterapkan pada aliran-aliran teologi yang berpendapat bahwa akal manusia dapat sampai kepada Tuhan. Tetapi yang menjadi persoalan, sampai dimana kemampuan manusia dapat mengetahui Tuhan dan kewajiban-kewajiban manusia etrhadap Tuhan. Dan sampai seberapa jauh persoalan wahyu dalam kedua tersebut di atas.

Sou’yb, Joesoef berpendapat bahwa aliran Mu’tazilah itu bertitik-tolak pada kemestian memahamkannya secara logis dan rasional. Cara aliran Mu’tazilah memahamkannya itu merupakan kekuatan yang tertahankan. Persoalan-persoalan yang dipermasalahkan Mu’tazilah dapat dirumuskan sebagai berikut :
a. Masalah mengetahui Tuhan;
b. Masalah kewajiban berterima kasih kepada Tuhan;
c. Masalah mengetahui baik dan jahat;
d. Masalah kewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhi yang jahat.

Aliran Mu’tazilah berpendapat bahwa keempat masalah tersebut di atas dapat dicapai melalui akal, meskipun kemampuan akal terbatas dan tidak sempurna; tetapi secara garis besar akal dapat sampai kepadanya, hanya hal-hal yang secara terinci diperlukan wahyu yang dibawa oleh para Rasul untuk menyempurnakan kekurangan dan kelemahan akal. Namun wahyu hanya bersifat menguatkan apa yang telah diketahui oleh akal, dan memberikan perincian terhadap pengetahuan yang telah dicapai oleh akal. Misalnya akal manusia dapat sampai pada mengetahui kewajiban manusia berterima kasih kepada Tuhan, tetapi tidak tahu bagaimana cara berterima kasih kepada Tuhan tersebut, bagaimana cara orang mengerjakan shalat, haji dan sebagainya. Dalam hal inilah peranan wahyu sangat diperlukan.

Sehubungan dengan besar kecilnya peranan akal dalam masalah mengetahui Tuhan, kewajiban mengetahui Tuhan, mengetahui baik dan buruk dan kewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk seperti tersebut di atas, bahkan menurut Mu’tazilah keempat masalah tersebut dapat dicapai dengan akal, maka timbullah pertanyaan apakah fungsi wahyu?

Sudah barang tentu bagi aliran-aliran yang berpendapat bahwa akal mempunyai peranan yang sangat besar, fungsi wahyu sangat kecil, sebaliknya aliran yang berpendapat peranan akal sangat kecil, fungsi wahyu menjadi sangat besar. Bagi kaum Mu’tazilah semua pengetahuan dapat diperoleh melalui akal dan kewajiban-kewajiban dapat diketahui dengan pemikiran yang mendalam.

Menurut Mu’tazilah, karena keempat masalah tersebut di atas dapat dicapai dengan akal, maka fungsi wahyu menjadi sangat kecil. Untuk mengetahui Tuhan dan sifat-sifat-Nya, wahyu dalam pendapat Mu’tazilah tidak mempunyai fungsi apa-apa; tetapi untuk mengetahui bagaiman cara melaksanakan ibadah kepada Tuhan dalam hal ini wahyu diperlukan, karena akal tidak sanggup mengetahui bagaimana cara ibadah tersebut. Dalam faham Mu’tazilah akal hanya dapat mengetahui pokok-pokok dari garis besarnya saja, adapun yang berkenaan dengan perincian pelaksanaan, akal tidak memiliki kesanggupan untuk itu, karena itu wahyu diperlukan.

Demikian pula menurut Mu’tazilah manusia tidak dapat mengetahui semua hal yang baik dan yang buruk, melainkan hanya mengetahui sebagian saja. Oleh karena itu, untuk menyempurnakan pengetahuan tentang baik dan buruk diperlukan wahyu. Dapat disimpilkan bahwa fungsi wahyu menurut Mu’tazilah adalah sebagai berikut :
1. Menyempurnakan pengetahuan manusia tentang baik dan buruk sehingga ada wajib al-aqliyah, yaitu kewajiban-kewajiban yang dapat diketahui melalui akal, dan ada wajib al-syarfiyyah, yaitu kewajiban-kewajiban yang hanya diketahui melalui wahyu. Demikian pula ada manakir al-aqliyah, yaitu larangan-larangan yang dapat diketahui melalui akal, dan ada pula manakir al-syar’iyyah, yaitu larangan-larangan yang hanya diketahui melalui wahyu.
2. Memberi penjelasan tentang perincian hukaman dan upah yang akan diterima di akhirat nanti. Kedua fungsi tersebut di atas dapat dikatakan sebagai informasi, yaitu memberikan hal-hal yang belum diketahui akal. Dan sebagai konfirmasi, yaitu memperkuat apa yang telah diketahui oleh akal.
3. Mengingatkan manusia dari kelengan dan mempercepat atau memperpendek jalan untuk mengetahui Tuhan.

Demikian ajaran Mutazilah dalam memahami Islam sehingga menjadi perdebatan di internal tokoh-tokoh Islam lainnya. Namun ada juga pihak yang mengaku berterima kasih dengan perjuangan Mutazilah. Mengapa? Melalui liberalisasi pemikiran maka ilmu pengetahuan dan teknologi bisa berkembang hingga seperti sekarang.

BENARKAH PEMERINTAHAN USTMAN BIN AFFAN SARAT NEPOTISME?

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, kita harus tahu apa itu nepotisme? Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia karya WIS Poerwadarminta (2005), nepotisme adalah tindakan mementingkan (menguntungkan) sanak saudara atau teman-teman sendiri, khususnya dalam pemerintahan. Pertanyaan selanjutnya, benarkah Ustman bin Affan nepotisme, manusia pilihan pemimpin khalifah Islam sepeninggal Umar bin Khatab? Rasanya sulit untuk dipahami jika seorang beriman sekaliber Ustman dinilai kepemimpinannya penuh dengan nepotisme.

Utsman Bin Affan terpilih menjadi khalifah ketiga berdasarkan suara mayoritas dalam musyawarah tim formatur yang anggotanya dipilih oleh Khalifah Umar Bin Khaththab menjelang wafatnya. Saat menduduki amanah sebagai khalifah Ustman berusia sekitar 70 tahun. Pada masa pemerintahannya, bangsa Arab berada pada posisi permulaan zaman perubahan. Hal ini ditandai dengan perputaran dan percepatan pertumbuhan ekonomi disebabkan aliran kekayaan negeri-negeri Islam ke tanah Arab seiring dengan semakin meluasnya wilayah yang tersentuh syiar agama. Faktor-faktor ekonomi semakin mudah didapatkan. Sedangkan masyarakat telah mengalami proses transformasi dari kehidupan bersahaja menuju pola hidup masyarakat perkotaan.

Dalam manajemen pemerintahannya Utsman menempatkan beberapa anggota keluarga dekatnya menduduki jabatan publik strategis. Hal ini memicu penilaian ahli sejarah untuk menekankan telah terjadinya proses dan motif nepotisme dalam tindakan Utsman tersebut. Adapun daftar keluarga Utsman dalam pemerintahan yang dimaksud sebagi alasan motif nepotisme tersebut adalah sebagai berikut :
a. Muawiyah Bin Abu Sufyan yang menjabat sebagi gubernur Syam, Beliau termasuk Shahabat Nabi, keluarga dekat dan satu suku dengan Utsman.
b. Pimpinan Basyrah, Abu Musa Al Asy’ari, diganti oleh Utsman dengan Abdullah bin Amir, sepupu Utsman.
c. Pimpinan Kuffah, Sa’ad Bin Abu Waqqash, diganti dengan Walid Bin ‘Uqbah, saudara tiri Utsman. Lantas Walid ternyata kurang mampu menjalankan syariat Islam dengan baik akibat minum-minuman keras, maka diganti oleh Sa’id Bin ‘Ash. Sa’id sendiri merupakan saudara sepupu Utsman.
d. Pemimpin Mesir, Amr Bin ‘Ash, diganti dengan Abdullah Bin Sa’ad Bin Abu Sarah, yang masih merupakan saudara seangkat ( dalam sumber lain saudara sepersusuan, atau bahkan saudara sepupu) Utsman.
e. Marwan Bin Hakam, sepupu sekaligus ipar Utsman, diangkat menjadi sekretaris Negara.
f. Khalifah dituduh sebagai koruptor dan nepotis dalam kasus pemberian dana khumus (seperlima harta dari rampasan perang) kepada Abdullah Bin Sa’ad Bin Abu Sarah, kepada Mirwan bin Al Hakkam, dan kepada Al Harits Bin Al Hakam.

Beberapa penulis Muslim mencoba melakukan rasionalisasi bahwa tindakan Utsman tersebut bukan tanpa alasan. Hal ini merupakan sebuah upaya pembelaan terhadap tindakan Utsman tidak atau bahkan sama sekali jauh dari motif nepotisme. Sebagai contoh salah satu bentk rasionalisasi menyebutkan bahwa Utsman mengangkat wali-wali negeri dari pihak keluarga beralasan untuk memperkuat wilayah kekuasaannya melalui personal yang telah jelas dikenal baik karakteristiknya. Hal ini mengingat wilayah kekhilafahan pada masa Utsman semakin meluas. Demikian juga tanggungjawab dakwah dimasing-masing wilayah tersebut. Bisa kita bayangkan jika “ekspansi” Islam ke daerah lain tidak didukung personil yang jelas komitmen dan loyalitasnya, yang terjadi bukan memajukan tetapi malah menghancurkan dari dalam.

Dengan kata lain, dalam konteks manajemen, mengangkat pekerja berdasarkan kekerabatan bukan hal yang salah. Kemungkinan pengenalan karakteristik anggota keluarga jelas lebih baik dibandingkan melalui seleksi dari luar keluarga. Jika hal tersebut menyangkut kinerja dan harapan ketercapaian tujuan dimasa mendatang jelas pemilihan bawahan dari pihak keluarga tidak bertentangan dengan sebuah aturan apa pun. Artinya secara mendasar nepotisme sendiri bukan merupakan sebuah dosa. Namun demikian kata “nepotisme’ dewasa ini telah mengalami perubahan makna substansial menjadi perbuatan negative. Bukan hanya bagi Indonesia, namun bagi sejumlah negara “pendekatan kekeluargaan” tersebut telah menempati urutan teratas bagi kategorisasi “dosa-dosa politis” sebuah rezim kekuasaan.

Oleh karena itu maka penjelasan bahwa pemilihan anggota keluarga untuk menempati struktur kepemimpinan dalam kasus khalifah Utsman dengan rasionalisasi pengenalan karakteristik, jelas kurang relevan diterapkan pada masa ini, walaupun bukan berarti tidak benar. Kalau pun ada pihak tetap menyebut pemerintahan Utsman penh nepotisme, bisa saja itu sebagai nepotisme yang baik, halal dan positif. Buktinya, berkat gaya pemerintahannya itu Ustman mampu mengembangkan Islam lebih baik lagi.

Selama pemerintahan Ustman, wilayah Islam menjangkau perbatasan Aljazair (Barqah dan Tripoli sampai Tunisia), di sebelah utara meliputi Allepo dan sebagian Asia Kecil. Di timur laut sampai Transoxiana dan seluruh Persia serta Balucistan (Pakistan sekarang), serta Kabul dan Ghazni. Utsman juga berhasil membentuk armada dan angkatan laut yang kuat sehingga berhasil menghalau serangan tentara Byzantium di Laut Tengah. Peristiwa ini merupakan kemenangan pertama tentara Islam dalam pertempuran dilautan. Artinya, langkah Ustman memilih pejabat pemerintahan dari familinya untuk membangun kepercayaan dan memudahkan program pemerintahannya berhasil dengan baik. Apalagi gerakan perlawanan atas Ustman saat menjadi khalifah semakin kuat.

BENARKAH DAKWAH ROSUL GAGAL?

Dakwah yang paling berat dijalani Rosulullah Saw adalah pada periode awal penyebaran Islam di negeri Mekkah. Khususnya ketika Muhammad muda mendapatkan perintah untuk dakwah terbuka oleh Allah Swt melalui malaikat Jibril. Perlawanan kuat terhadap ajaran agama baru dibawah Nabi Muhammad Saw itu datang bertubi-tubi dari para pemuka suku Quraisy. Bahkan yang menyakitkan, perlawanan itu juga datang dari kalangan keluarga besar Nabi Muhammad sendiri, seperti dari pamannya Abu Lahab.

Bentuk perlawanan pemuka Quraisy tersebut banyak ragamnya, mulai yang lunak hingga kekerasan. Bentuk diplomasi kaum Quraisy, termasuk dari kalangan kerabat dekatnya, agar Muhammad tidak melanjutkan penyebaran risalah Islam kepada masyarakat luas. Gagal dengan upaya diplomasi pemuka Quraisy melancarkan tekanan politik terhadap umat Islam. Seruan pemboikotan atas umat Islam dalam pergaulan di masyarakat, termasuk dalam jual beli, pernikahan hingga komunikasi.

Berbagai perlawanan kaum kafir Quraisy tersebut ternyata menjadi “jamu kuat” bagi kelompok umat Islam. Mereka bukan menjadi takut tetapi malah semakin semangat untuk berdakwah menyebarkan Islam terhadap masyarakat Mekkah, khususnya dan masyarakat Arab pada umumnya. Perlawanan itu dipahami sebagai tantangan untuk meraih kemuliaan sebagai mujahiddin. Berkat semangat juang yang kuat itu, ajaran Islam secara perlahan semakin diterima khususnya pada masyarakat kecil. Bukan karena agama Muhammad ini karena mendapat tentangan sehingga orang kian penasaran, tetapi lebih karena kebenaran yang dibawa Islam.

Melihat jumlah pengikut Muhammad semakin hari semakin bertambah, membuat pemuka agama berhala kian berang. Bisa jadi mereka takut akan ditinggalkan penggemarnya (baca: pengikutnya) sehingga ucapan mereka tidak lagi sebagai sabda Tuhan. Perlawanan selanjutnya adalah dengan aksi kekerasan, baik verbal maupun fisik. Inilah sebuah fase dakwah yang sangat berat. Tiada haru kehidupan umat Islam selalu diwarnai penderitaan, penderitaan dan penderitaan. Mulai dihina, dicaci, dicambuk hingga dibunuh bagi siapa saja masyarakat yang mengikuti agama Muhammad (Saw).

Beratnya penderitaan umat Islam tersebut membuat Nabi Muhammad Saw memilih untuk keluar dari negeri Mekkah. "...Dan orang-orang yang lemah, baik laki-laki, wanita maupun anak-anak yang semuanya berdo'a: Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Mekkah) yang zhalim penduduknya..." (An-Nisa: 75)". Penderitaan itu kemudian Rosulullah bersama umatnya beberapa kali mencoba untuk hijrah ke daerah lain seperti Habbasyah (Ethopia-Afrika), Thoif, Yatsrib (Madinah). Namun kedatangan rombongan Rosulullah di dua negeri Habbasyah dan Thoif mendapat penolakan keras. Hanya masyarakat Yatsrib (Madinah), yang menyambut baik agama yang dibawa Nabi Muhammad Saw.

Peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad ke Madinah atau upaya keinginan keluar dari negeri yang penduduknya dzolim tersebut, oleh sebagian pihak menilai sikap Muhammad itu sebagai bentuk kegagalan misinya dalam menyebarkan Islam di tanah Mekkah. Langkah Muhammad dan pengikutnya menandakan kemenangan kaum kafir Quraisy di satu pihak. Islam justeru mulai berkembang pesat ketika Rosulullah hidup di Madinah. Benarkah dakwah Rosulullah gagal ketika berada di Mekkah?

Kegagalan dakwah Rosulullah sebenarnya tidak bisa hanya diukur dari keluarnya Muhammad dan pengikutnya dari tanah Mekkah. Hijrahnya Nabi lebih pada strategi politik dakwah agar Islam lebih berkembang luas. Jika Nabi dianggap gagal dalam dakwah Islam di Mekkah, mengapa jumlah pengikut Muhammad semakin hari semakin bertambah sehingga membuat geram kaum kafir Quraisy. Dengan kata lain, hijrahnya Nabi ke Madinah lebih karena penyelamatan risalah dan umat dari penderitaan musuh Islam. Selain itu sebagai upaya penyebaran Islam yang lebih luas lagi.

Peristiwa hijrah Nabi ke Madinah ada cerita lain yang menyebutkan bahwa hal itu bukan kegagalan dakwah Nabi. Hijrah Nabi ke Madinah atas permohonan masyarakat disana yang tertarik dengan agama yang dibawakan Muhammad. Tampaknya ketika risalah Islam dikenalkan secara terbuka kepada masyarakat Mekkah, secara perlahan mulai dikenal oleh masyarakat Madinah. Bedanya, sikap masyarakat Madinah lebih terbuka dengan hal yang baru, termasuk agama. Sementara masyarakat Mekkah lebih tertutup karena Mekkah merupakan pusat agama kaum Quraisy.

Masyarakat Madinah yang tertarik dengan Islam sebagian ada yang menunaikan ibadah Haji ke tanah suci Mekkah. Orang-orang Aus dan Khazraj, misalnya, penduduk Madinah yang menyempatkan diri berhaji dan bertemu dengan Rosulullah. Sejak pertemuan itu orang-orang Aus dan Khazraj sekembalinya ke Madinah meminta Rosulullah untuk mengirimkan orang-orangnya mengajarkan Islam ke penduduk setempat. Musab bin Umair, salah seorang sahabat Rosulullah, pemuda yang kaya raya tetapi lebih memilih hidup sederhana bersama Rasulullah ini, kemudian dikirim ke Madinah.

Musab secara perlahan tapi pasti berhasil menghijaukan masyarakat Madinah. Tak ada satu rumah pun diketuk oleh Musab untuk menyampaikan pesan-pesan Qur’an. Melihat perkembangan itu Rosulullah sangat bahagia mendengarnya. Sejak itu Rosulullah bersama pengikutnya memutuskan pindah sementara ke Madinah, mengembangkan risalah Islam di daerah tersebut, iring perlawanan pemuka Quraisy di Mekkah belum mereda.

Hijrahnya Nabi ke Madinah dianggap sebagi tonggak sejarah permulaan perkembangan Islam hingga ke seluruh jazirah Arab bahkan merambah ke Eropa. Sejak masa itu negara Islam berdiri untuk yang pertama kalinya di Madinah, dan sejak itu pula Islam disebarkan dengan dakwah dan jihad ke seluruh dunia. Sehingga Islam berkembang dengan cepatnya ke seluruh dunia, dimulai dengan penaklukan wilayah Hejaz (622-632 M.) masa Rosulullah hidup. Kemudian secara bertahap, wilayah Syam di taklukkan semasa Umar bin Khattab. Sehinggalah Islam memasuki Eropa, setelah beberapa wilayahnya ditaklukkan pada tahun 696-705 M hingga pada tahun 712, Islam telah sampai di Asia Tenggara.