September 07, 2023

DARURAT PENDIDIKAN !


Oleh:
Deny Rochman*) 

Dunia pendidikan negeri ini terancam dalam bahaya. Bahaya kemerosotan moral. Efeknya bisa meluas kepada sendi kehidupan. Mengapa ini berbahaya? Karena moral (karakter) menjadi hal fundamental dalam pendidikan (basic socialization). Yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya. Berbahaya karena sudah menggempur pertahanan unit terkecil sebuah masyarakat: keluarga dan sekolah. 

Moralitas menyangkut kelangsungan sebuah bangsa, bahkan kelangsungan hidup manusia di muka bumi. Maju mundurnya moralitas sebuah masyarakat akan menentukan kelangsungan sebuah peradaban. Sangat pentingnya moralitas, membuat Allah Swt silih berganti mengutus Nabi dan Rosulnya ke muka bumi. Tujuannya satu: memperbaiki moral umatnya. 

Kita patut miris dan wajib cemas jika kejadian demi kejadian kekerasan, pelecehan dan penyimpangan seksual, sosial, kejahatan, ada di dunia pendidikan kita, dunia guru. Sekolah itu benteng terakhir pertahanan budaya. Sekolah miniatur masyarakat. Kasus apa yang terjadi di sekolah, apa lagi kecenderungannya meningkat, itu menjadi fenomena gunung es. Artinya tren yang terjadi dan biasa ada di tengah masyarakat. 

Tragedi moral itu sudah melibatkan guru, siswa dan orang tua. Elemen penting dalam proses pembelajaran. Pada satu kasus, guru sebagai pelaku, siswa jadi korban. Pada bagian kasus lain siswa dan atau orang tua menjadi pelaku, guru jadi korban. Di era kekinian, tekanan tugas guru tak pernah berkurang. Sementara diluar sana, gempuran terhadap nilai dan norma sosial tanpa henti melalui media massa dan media sosial. Pendidikan kita kolaps. 

Entah sudah berapa kasus terjadi kekerasan di dalam dunia pendidikan di sejumlah daerah di Indonesia. Baik antara guru dengan siswa, guru dengan orang tua, guru dengan guru bahkan guru dengan kepala sekolah dan dinas. Ini belum kasus-kasus moral yang terjadi di dalam keluarga dan di tengah masyarakat. Akan mengganggu proses pembelajaran. 

Jika masalah moral terabaikan, maka tujuan pendidikan nasional akan pincang. Potensi peserta didik menjadi manusia berakhlak mulia tak berjalan. Hanya menciptakan anak berilmu. Seperti digariskan UU Sisdiknas. 

Krisis moral ini berdampak serius bagi kehidupan. Bahkan menurut pakar Pendidikan Karakter asal Amerika Thomas Licona, krisis moral menjadi ancaman kebangkrutan sebuah negara. Ia menyebutkan tanda-tanda kehancuran sebuah bangsa antara lain : 1). Meningkatnya kekerasan remaja; 2). Penggunaan bahasa dan kata-kata yang buruk.

Faktor lainnya adalah 3). Meningkatnya perilaku merusak diri (narkotika, miras, seks bebas dll); 4). Semakin kaburnya pedoman moral; 5). Menurunnya etos kerja; 6). Rendahnya rasa tanggungjawab individu/bagian dari bangsa; 7). Rendahnya rasa hormat pada orang tua/guru; 8). Membudayanya ketidakjujuran; 9). Pengaruh kesetiaan  kelompok remaja yang kuat dalam kekerasan; 10). Meningkatnya rasa curiga dan kebencian terhadap sesama.

Tanda-tanda itu sudah banyak terlihat di sekitar kita. Upaya pemerintah memperbaiki kurikulum pendidikan dari masa ke masa masih belum terlihat hasilnya. Termasuk labelisasi pendidikan karakter, profil pelajar Pancasila. Diperparah sebagian guru masih punya etos kerja kurang baik. Kencenderungan yang ada, apapun kurikulumnya metodenya kembali ceramah. 

Memang ada banyak faktor terjadinya krisis moral di dunia pendidikan kita. Salah satunya belum maksimalnya peningkatan kompetensi kepribadian guru. Guru banyak dijejali materi pedagogik kurikulum. Namun abai membangun karakter dan etos kerja. Akibatnya guru merasa terbebani dengan berganti kurikulum dengan seabreg ketentuan teknis dan administrasi. Belum lagi kebijakan pendidikan lain yang menyesakan dada guru. 

Di sini perlunya upaya terus peningkatan kompetensi guru. Satu dari empat kompetensi yang harus dikuasai guru sesuai UU Guru dan Dosen. Sayangnya pentingnya kompetensi ini tak cukup perhatian oleh pemerintah. Pada berbagai program dan kegiatan, kompetensi ini luput dari komponen dan kriteria penilaian. Wajar jika masih ditemukan profil guru yang jauh dari kata teladan. 

Kompetensi kepribadian adalah kemampuan kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, arif, berwibawa serta menjadi teladan bagi peserta didik, mantap, stabil, dewasa, arif dan bijaksana, mengevaluasi kinerja sendiri, serta mengembangkan diri secara berkelanjutan. 

Kompetensi kepribadian sesuai berbagai riset menyebutkan, memiliki pengaruh signifikan terhadap kualitas guru. Ini didukung oleh penelitian (Roqib & Nurfuadi, 2020; Wardoyo, 2015) yang menemukan bahwa kompetensi kepribadian berpengaruh signifikan terhadap kualitas guru. 

Penelitian yang dilakukan oleh Hakim (2015) menyimpulkan kompetensi kepribadian guru telah terbukti memiliki kontribusi yang signifikan dalam meningkatkan kemampuan kontrol bahan ajar, kemampuan untuk mengelola pembelajaran dan komitmen untuk melakukan pekerjaan yang baik (kinerja pembelajaran). Artinya kompetensi kepribadian mempengaruhi tiga kompetensi guru lainnya. 

Kepribadian inilah yang akan menentukan apakah dia seorang pendidik yang baik dan pembangun untuk siswa, atau akankah itu menjadi perusak untuk masa depan siswa mereka, terutama bagi siswa yang masih muda dan mereka yang mengalami gejolak mental (Zakiah, 2005).

Rumusannya sederhana. Anak baik diajar guru yang baik. Anak pintar diajar guru yang pintar. Guru tidak hanya dituntut untuk menjelaskan materi pembelajaran kepada siswa (Achdiyat & Andriyani, 2016; Jaya, 2017), namun guru juga memiliki tanggung jawab dalam peningkatan potensi dan kualitas kepribadian siswa. Untuk dapat melakukan tersebut guru harus memiliki kompetensi kepribadian yang baik (Darmadi, 2016). Sayangnya berbagai program dan kegiatan pendidikan dan sejenisnya, kurang serius dalam upaya peningkatan kompetensi kepribadian guru. (*) 

*) Pengurus PGRI Kota Cirebon