Oktober 09, 2009

ANTARA TUHAN, MANUSIA DAN AKAL*)

Pemahaman akal manusia terhadap eksistensi Tuhan dan kebenaran agama masih dalam perdebatan sengit. Namun toh, pendekatan akal dalam dunia Islam terus berkembang seiring perkembangan filsafat Islam. Pendekatan ini di dunia Barat disebut hermenetik, sementara di dunia Islam dikenal istilah ilmu kalam, mantiq, logika atau ilmu tafsir. Beragam istilah pendekatan itu memiliki kesamaan yakni menggunakan akal dalam menemukan kebenaran.
Akal adalah alat berfikir yang bersemanyam di dalam otak sehingga manusia mengerti dan memahami. Namun dalam perkembangannya manusia berakal dipahami sebagai manusia yang cerdas, yang mampu memecahkan masalah dalam hidupnya (baca dalam Jamali Sahrodi, 2009: 182-183). Kehebatan sistem otak manusia yang berbeda dengan makhluk lainnya membuat manusia menjadi makhluk yang paling hebat sehingga bisa bertahan hidup dari masa ke masa.

Manusia diberikan anugerah akal oleh Tuhan sebagai senjata pamungkas dalam menjalani kehidupannya di bumi. Kelangsungan hidup Adam dan Hawa, misalnya, dari awal peradaban sampai beranak pinak hingga sekarang merupakan bukti atas kekuatan nalar yang diciptakan oleh Allah Swt. Melalui nalar tersebut manusia telah memperoleh pengetahuan. Karena memang manusia adalah satu-satunya makhluk yang mengembangkan pengetahuan secara sungguh-sungguh. Melalui pengetahuan manusia bisa berkembang karena memiliki bahasa, mengembangkan pengetahuannya dengan cepat dan mantap, kemampuan berfikir menurut suatu alur kerangka berfikir tertentu.
Kendati tidak semua pengetahuan diperoleh dari proses penalaran, yaitu hasil proses berfikir logika ilmiah dan analitik. Ada pengetahuan yang diperoleh dari hasil penalaran, ada juga dari intuisi (perasaan) dan pengetahuan diperoleh bukan hasil dari usaha manusia yaitu wahyu. Tetapi para filosof sekuler memahami bahwa berfikir dalam pengertian penalaran logika merupakan bentuk suatu kegiatan untuk menemukan pengetahuan yang benar. Itulah kemudian dalil ini menjadi landasan menemukan kebenaran dalam agama menggunakan pendekatan nalar, seperti yang dilakukan mereka dalam memahami ajaran Kristen pada abad pertengahan.

AKAL DAN PROBLEM SPIRITUAL
Sumber pengetahuan paling tidak ada tiga yaitu nalar (akal), pengalaman, intuisi (perasaan) dan wahyu. Namun pengetahuan yang digunakan dalam penalaran bersumber pada rasio dan fakta. Sementara pengalaman, intuisi apalagi wahyu bukan termasuk wilayah ilmiah. Sehingga agar pengetahuan mempunyai dasar kebenaran maka proses berfikir harus dilakukan dengan cara tertentu. Dimana suatu penarikan kesimpulan itu disebut logika.
Mengedepankan kemampuan nalar kita akan terjebak dalam dunia materialistik, bahkan tidak sedikit kekuatan nalar telah menyeret manusia mengingkari Tuhannya. Charles Darwin, misalnya, ilmuwan Biologi abad XIX yang dikenal teori evolusinya ini semula orang yang percaya adanya keberadaan Tuhan. Namun ketika dia semakin matang sebagai ilmuwannya, secara perlahan telah kehilangan kepercayaan kepada Tuhan.
Problem spiritual tersebut banyak dialami oleh para ilmuwan yang sudah mengagungkan akal sebagai sumber kebenaran ilmiah, seperti Pierre de Lapace, astronom Prancis, Sigmund Freud (ahli psikologi), Emile Durkheim sosiolog dan banyak lagi. Kebebasan akal mengawali puncaknya ketika abad pertengahan masa pencerahan (renaisans) di belahan bumi Eropa. Tuhan telah mati, demikian ucapan untuk menggambarkan runtuhnya dogma gereja, yang selama ini menjadi sumber kebenaran tunggal di dalam masyarakat.
Metode logika dalam mencari sumber kebenaran pengetahuan sudah merambah pada ranah transendental. Akibatnya semuanya ditimbang antara logis dan tidak logis, rasional dan tidak rasional. Logiskah peristiwa Isra Mir’aj Nabi Muhammad Saw dalam konteks teknologi sekarang? Berbagai pertanyaan dan pernyataan itu menjadi paradigma tidak saja dalam memahami ilmu tetapi juga agama. Fenomena tersebut mulai merambah ke dalam pemikiran intelektual muslim Indonesia.
Padahal menurut para ilmuwan muslim, manusia memiliki tiga macam sumber atau alat untuk menangkap keseluruhan realitas yaitu panca indra, akal dan intuisi (termasuk wahyu). Akal dalam bentuk proses penalaran memang digunakan, tetapi hanya untuk memilih, memutuskan dan melakukan penalaran, bukan sebagai sumber lain untuk menangkap realitas (Mulyadhi Kartanegara, 2007:7). Menurut Herber A. Simon, nalar itu ibarat senjata sewaan, yang bisa kita gunakan untuk mencapai tujuan apa saja, baik atau buruk. Nalar lebih merupakan fasilitator daripada inisiator, kita memakai nalar untuk mendapatkan yang kita mau, bukan untuk menentukan yang kita mau.
Nabi Adam As, misalnya, pengetahuan yang diperolehnya tidak melulu hasil penalaran yang dilakukannya. Namun juga atas bimbingan ilahiyah melalui malaikat Jibril. Ketika “dibuang” ke bumi, Adam belum memiliki pengetahuan dalam bertahan dan menjaga kelangsungan hidupnya. Bagaimana ketika dia dan Hawa mulai merasa lapar, bagaimana ketika anak-anaknya di nikahkan, ketika Qobil melihat Habil terbunuh olehnya. Jika mengedepankan akal, maka seperti sikap Qabil yang menolak menikah dengan adik Habil karena justeru adiknya sendiri memiliki kelebihan fisik daripada adik Habil.

KEDUDUKAN AKAL DALAM ISLAM
Allah telah memuliakan anak adam dengan akal dan menjadikan akal sebagai syarat utama pembebanan syariat kepada manusia. Dalam ilmu mantiq dapat juga dikatakan manusia adalah hewan yang berakal (al insanu hayawanun natiq). Dalam al quran surat Ali Imran ayat 190 yang artinya : "Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan selisih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal”. Dan dalam ayat lain dikatakan: "Hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran” (Ar-Ra'd:19).
pada dasarnya Allah menciptakan akal pada manusia berbatas sesuai dengan kemampuan yang ada dalam akal itu sendiri dimana akal itu difungsikan. Karena apabila fungsi akal sudah melampaui bidang-bidang yang di batasi-Nya, maka dengan demikian orang yang memiliki akal itu sudah melakukan kezaliman, sebab dengan melakukan itu akan menghasilkan kesesatan dan kebingungan, dan ini mungkin yang menjadi alasan bagi sebagian ulama mengatakan bahwa ilmu mantiq atau dikenal dengan istilah ilmu logika itu haram dan akhirnya membuat manusia jatuh kepada kekafiran, ini benar sekali. Karena bagaimana manusia dapat menjalankan ibadah dengan sempurna kalau apa yang dipikir oleh akal sehatnya sudah melampaui apa yang diperintahkan dan dilarang oleh Sang Khaliq, dan melampaui batas akal itu sendiri.
Dimana terkadang seorang manusia yang super pintar berusaha menggali ilmu Al-Quran di luar kemampuan akalnya dan berusaha mencari tahu zat Allah sesungguhnya dan ini adalah mustahil, karena zat Allah merupakan suatu yang mustahil untuk dipelajari dan dipikirkan oleh akal sehat seorang manusia yang menjadi ciptaan-Nya.
Lalu bagaimana kedudukan akal dalam memahami agama? Abu al Hasan al Asy`ary, mantan tokoh Mutazilah memberikan penjelasan kedudukan akal akal dalam memahami agama yakni sebagai berikut : (1) Memberikan kebebasan mutlak kepada akal sama sekali tidak dapat memberikan pembelaan terhadap agama. Mendudukkan akal seperti ini sama saja dengan merubah aqidah. Bagaimana mungkin aqidah mengenai Allah dapat tegak jika akal bertentangan dengan wahyu. (2) Manusia harus beriman bahwa dalam urusan agama ada hukum yang bersifat taufiqi, artinya akal harus menerima ketentuan wahyu. Tanpa adanya hukum yang bersifat taufiqi maka tidak ada nilai keimanan. (3) Jika terjadi pertentangan antara wahyu dan akal maka wahyu wajib didahulukan dan akal berjalan dibelakang wahyu. Dan sama sekali tidak boleh mensejajarkan akal dengan wahyu apalagi mendahulukan akal atas wahyu.



DAFTAR PUSTAKA

Abdul Rahman Shaleh dan Muhbib Abdul Wahab, Psikologi Suatu Pengantar dalam Perspektif Islam, Prenada Media, Jakarta, cet.ke-2, 2005.
Ahmad Zamhari Hasan, Peran Nalar bagi Manusia, http://www.cybermq.com.
Mulyadi Kertanegara, Mengislamkan Nalar: Sebuah Respon terhadap Modernitas, Erlangga, Jakarta, 2007.
Hamid Ahmad Ath-Thahir, Kisah Para Nabi untuk Anak, (terjemahan Qishash Al-Anbiya lil Athfal), Irsyad Baitus Salam, Bandung, 2006.
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu : Sebuah Pengantar Populer, Cet. Ke-11 Muliasari, Jakarta, 1998.
Abu al Hasan al Asy`ary dan Mu`tazilah, ibnuramadan.wordpress.com




____________________
*) disampaikan dalam presentasi mata kuliah Filsafat Pendidikan Islam Psikologi Pendidikan Islam Pascasarjana STAIN Cirebon 10 Oktober 2009.







Oktober 04, 2009

WARGA PRONGGOL HALAL BI HALAL

Warga RW 01 Kemakmuran Pronggol Kota Cirebon mengikuti acara Halal Bi Halal di masjid setempat “Al Makmur”, Sabtu (3/10) malam. Acara yang diisi dengan pengajian umum itu menghadirkan penceramah dari dalam kota, Ustadz Drs. H. Jufri Azis, M.Pd.I.

Acara yang dimulai pukul 20.00 tersebut dihadiri sekitar 100 orang jamaah dari kalangan bapak, ibu dan remaja. Setelah acara seremonial berupa pembacaan ayat suci Al Quran, sambutan-sambutan dari pengurus DKM Sahrudin, S.Ag, M.Pd.I, Ketua RW Somantri, acara dilanjutkan dengan pengajian umum.

Menurut ustadz Jufri Azis, puasa merupakan bulan latihan kesabaran dan ibadah kepada Allah Swt. Maka setelah puasa usai, mestinya bulan bulan berikutnya ada peningkatan kualitas hidup, baik ibadah maupun kesabarannya.

“Puasa itu menguji kesabaran, dan latihan peningkatan ibadah. Jadi setelah puasa mestinya ibadahnya kian baik, semakin sabar, apalagi sekarang bulan syawal yaitu bulan peningkatan,” tutur ustadz Jufri diatas mimbarnya.

Tidak hanya masalah puasa, ustdaz jufri juga menyindir gaya hidup umat Islam yang tidak lagi Islami dalam menyambut datangnya Idul Fitri. Umat Islam menyambut lebaran dengan riang gembira karena akan meninggalkan bulan puasa dan memasuki bulan pesta.

“Kalo mau lebaran kita ini pusing dengan pakaian baru. Padahal hakekat lebaran itu bukan pakaian baru, tapi hati yang bersih dan tenang, saling memaafkan sesama teman, kerabat dan tetangga. Umat benar-benar tidak memanfaatkan keistimewaan bukan Ramadhan. Inilah yang ditangisi bumi dan langit atas umatnya Nabi Muhammad yang menyia-yiakan bulan penuh berkah tersebut,” ungkapnya. (*)